Seorang procurement profesional sering dihadapkan pada posisi yang terjepit ditengah. Di satu sisi dia mewakili perusahaan untuk bernegosiasi dengan para supplier, disatu sisi dia juga harus bernegosiasi dengan end user atau para pemangku kepentingan dari internal perusahaan.
Aspirasi dan kebutuhan dari internal perusahaan terkadang tidak bisa dipenuhi oleh supplier atau bisa dipenuhi dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Sementara para pemangku kepentingan di internal perusahaan terkadang tidak bersedia menerima konsekuensi tersebut. Jadilah procurement terjepit ditengah.
Kemampuan bernegosiasi mutlak diperlukan oleh setiap procurement profesional. Negosiasi disini bukanlah negosiasi ala membeli cabe dipasar tetapi sebuah proses komunikasi berdasarkan akal sehat, data dan perhitungan yang scientific untuk menemukan titik temu.
Negosiasi adalah sebuah proses yang kompleks. Tidak sekedar meminta sesuatu tanpa dasar logika, walaupun dalam keseharian terkadang masih ditemui perusahaan yang sering mendorong ke batas yang paling bawah sampai di tingkat yang tidak masuk akal (berpatokan pada budget yang ternyata tidak akurat atau bahkan sudah tidak relevant lagi).
Saya tidak bermaksud membela para supplier tetapi saya justru bermaksud membela perusahaan yang memberikan pekerjaan pada para supplier. Hubungan bisnis bukan hubungan cinta semalam tetapi hubungan jangka panjang, dimana untuk bisa sama-sama bertahan perlu hubungan yang saling menguntungkan. Jika hanya satu pihak saja yang diuntungkan maka hubungan tersebut sulit untuk dipertahankan atau bila dipaksakan berjalan maka akan ada hal-hal yang dikorbankan untuk menutupi kerugian operasional.
Tugas procurement profesional memang tidak mudah. Sebelum melakukan negosiasi ke supplier tugas, seorang procurement profesional harus memastikan bahwa aspirasi dan kebutuhan internal perusahaan masuk akal dari sisi teknis, legal dan komersil. Ini adalah fase yang tidak mudah dilakukan karena mensyaratkan beberapa pengetahuan teknis dari berbagai disiplin ilmu belum lagi perlu keberanian juga untuk mengkomunikasikan umpan balik ke internal perusahaan karena bisa jadi disalah artikan.
Jadi untuk menunjang pekerjaan di bidang ini, procurement profesional perlu membekali diri dengan keahlian dan pengalaman ( baca : jam terbang) dalam bernegosiasi di berbagai bidang bisnis misalnya, dalam konteks procurement di bidang tambang batu bara, harus juga mengerti hal teknis dan komersil terkait perawatan alat berat, peledakan, perawatan jalan hauling dll
Procurement profesional adalah profesi yang strategis tetapi terkadang masih dilihat sebagai pekerjaan administrasi dan tukang nego (sayang sekali…)
Sukses dulu baru Bahagia? atau Bahagia dulu baru Sukses?
Mana yang lebih dulu sukses dulu di karir yang kita tekuni baru bahagia? atau bahagia dulu baru sukses? dan apa kaitannya dengan hasil survei mengenai 4 kategori profesional Procurement & Supply?
Survei dilakukan pada 100 profesional Procurement & Supply (P&S) dengan 4 pertanyaan reflektif sebagai berikut:
Anda masuk kategori yang mana?
Kategori 1
Suka bekerja di P&S dan didukung skill yang baik
Kategori
Suka bekerja di P&S tetapi skillnya B saja alias biasa saja
Kategori 3
Tidak suka bekerja di P&S tetapi bisa bekerja dengan baik dengan skill yang baik
Kategori 4
Tidak suka bekerja di P&S dan tidak memiliki skill yang baik
Kami mendapat respon dari 99 orang tetapi ada 4 orang yang menjawab dengan kolom kosong. Hasil surveynya adalah sebagai berikut :
7% responden mengaku mereka tidak suka bekerja di bidang P&S tetapi bisa bekerja dengan baik dan didukung skill yang baik juga. Kita bisa bekerja dengan baik bahkan ketika kita terpaksa melakukannya.
Faktor yang memaksa ini biasanya adalah faktor eksternal misalnya karena job rotation, faktor kebutuhan ekonomi, faktor keluarga dll. Kuatnya tekanan dari faktor eksternal tadi bisa memaksa seseorang untuk mengasah ketrampilannya sehingga akhirnya dia bisa berhasil di pekerjaannya bahkan memberikan output yang positif walaupun dia tidak bahagia dalam mengerjakannya
37% responden mengaku suka bekerja di bidang P&S tetapi skillnya B saja alias biasa saja. Responden dalam kategori ini tidak mendapat tekanan yang kuat dari faktor diluar dirinya. Karir di bidang P&S adalah pilihannya terlepas dia belum 100% yakin bidang ini adalah passion dia atau bukan.
Dia menyadari kekurangannya dari sisi kompetensi. Hal ini wajar karena profesi P&S ini masih berkembang di Indonesia dan belum banyak profesional yang belajar secara formal untuk mendapatkan kualifikasi di bidang ini. Kekurangan kompetensi ini dapat dipenuhi dengan belajar dan bekerja setidaknya 5000 jam (125 minggu)
56% responden mengaku suka bekerja di bidang P&S dan didukung skill yang baik. Ini adalah kategory profesional P&S yang ideal. Responden dalam kategori ini menikmati dan memiliki keterlibatan yang dalam dengan yang dia kerjakan. Waktu berjalan sangat cepat. Bahasa kerennya flow.
Jadi bahagia dulu atau sukses dulu?
Menurut saya bahagia dulu. Orang dalam kategori 1 dan kategori 2 memiliki probabilitas tinggi untuk berhasil dalam karirnya dan memberikan kontribusi positif ditempat dia berkarya. Orang yang tidak bahagia dalam pekerjaannya pada akhirnya akan stress karena dia mengerjakan sesuatu dengan terpaksa, merasa tidak terlibat dan energi dan mentalnya terkuras habis secara negatif.
Salah satu contoh eksterm orang di kategori 3 adalah juara dunia tinju kelas berat WBO tahun 1986 Michael Bentt. Michael menjadi petinju karena tekanan dari ayahnya. Singkat kata, meskipun terpaksa dia berhasil mengasah skillnya dan menjadi juara dunia.
Sampai pada suatu momen ketika dia terluka dalam pertandingan dan dokter melarangnya untuk bertanding lagi. Untuk pertama kalinya dalam 22 tahun ayahnya tidak bisa memaksa dia bertinju lagi. Michael akhirnya bebas memilih karir yang dia tekuni dan memutuskan berganti profesi menjadi seorang aktor.
Jadi menurut saya bahagia dulu baru sukses. Kita bisa sukses tetapi apa artinya kalau tidak bahagia? Lebih baik mengerjakan dengan senang apa yang harus kita kerjakan daripada terpaksa mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. IMHO
Life is too short to be unhappy at work
4 Kategori Profesional Procurement & Supply (P&S)
Ada 4 kategori procurement dan supply profesional yaitu :
Kategori 1: Procurement profesional yang mempunyai passion yang tinggi dalam bidang P&S dan di dukung dengan skill yang baik
Kategori 2: Procurement profesional yang suka bekerja di bidang P&S tapi skill-nya B aja alias biasa aja
Kategori 3: Procurement profesional yang tidak suka bekerja di bidang P&S mungkin karena dipindah tugaskan ke bagian ini atau memang enggak ada pilihan dan terpaksa bertahan tetapi skill-nya C alias cukup baik dalam arti bisa menyelesaikan tugas dengan baik bahkan memberikan kontribusi yang positif.
Kategori 4: Procurement profesional yang tidak suka bekerja di bidang P&S mungkin karena dipindah tugaskan ke bagian ini atau memang enggak ada pilihan dan terpaksa bertahan dan skill-nya b ( b huruf kecil) aja alias cukup untuk bertahan hidup aja
Anda kategori yang mana?
(Catatan : Nomor Whatsapps pemenang undian survey ( 1 satu pemenang) akan di umumkan di IG @blogjoshua75 pada tanggal 21 Januari 2021 sesudah mendapat 100 responden)
New Normal di Procurement & Supply
Kata New Normal menjadi trend di masa pandemi ini. Kata ini diperbincangkan oleh semua orang dari segala lapisan usia dan dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. Bagaimana dengan di Procurement & Supply (P&S)? Apakah akan ada new normal di bidang ini?
Saya akan bahas secara singkat mengenai new normal di bagian akhir tulisan ini. Di paragraf ini mari kita bahas apakah kita sudah siap masuk ke new normal? Profile dari praktisi P&S di Indonesia mayoritas tidak memiliki latar belakang pendidikan di P&S. Artinya mayoritas praktisi ini learning by doing dalam bekerja. Profile seperti ini membuat distribusi pengetahuan mengenai hal-hal dasar tentang P&S tidak merata. Padahal hal-hal dasar ini menjadi fondasi dari professional development setiap invididu. Resiko dari tidak memiliki fondasi yang kuat adalah Anda menjadi rentan terhadap perubahan karena sesungguhnya Anda juga tidak tahu apa yang Anda kerjakan itu benar atau salah? bagaimana kalau Anda meyakini suatu teori atau metode yang sudah tidak relevant lagi atau lebih parah lagi kalau teori atau metode yang Anda temukan melalui proses learning by doing itu ternyata salah. Lebih jauh lagi apakah pengetahuan dan skills yang Anda kuasai sekarang apakah bisa membantu Anda untuk bisa bertahan dan berkembang di era New Normal?
Saya berandai-andai saja, jika Anda tidak mempunyai fondasi yang kuat di bidang P&S maka probabilitasnya 50:50 Anda bisa survive di new normal ini. Kenapa bisa begitu? Secara prinsip new normal memaksa kita bekerja dengan metode kerja yang baru. Metode baru yang berbasis teknologi dan data. Saya ambil contoh di dalam proses prekualifikasi vendor. Proses ini nantinya dapat dikerjakan dengan teknologi RPA ( Robot Process Automation) dimana data dari potensial vendor di proses secara otomatis dan outputnya adalah rekomendasi vendor yang memiliki kualifikasi untuk mengikuti tender. Peran praktisi P&S adalah mendesign system itu. Untuk dicatat saja, kapabiltas mendesign system mengandaikan penguasaan dasar-dasar Procurement & Supply.
Skill analysis dan analytics Anda akan sangat penting di new normal ini karena focus pekerjaan di P&S akan beralih dari pekerjaan yang sifatnya administrasi dan strategis ke hal-hal yang sifatnya analysis dan analytics. Keputusan-keputusan di bidang ini mulai dari siapa vendor yang bisa ikut tender, siapa pemenang tender, bagaimana kinerja vendor akan berdasarkan data yang sudah diolah dan menghasilkan informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam bisnis.
Tulisan ini tidak dibuat untuk menakut-nakuti Anda tetapi untuk membuka pikiran kita semua bahwa ada era baru didepan kita. Pertanyaannya apakah Anda sudah siap untuk memasuki era baru itu yang kita sebut New Normal?
Passion di Procurement & Supply
Ada pepatah dari Confucius seorang filsuf dari Cina yang lahir di 551 BC tentang passion
Choose a Job You Love, and You Will Never Have To Work a Day in Your Life
terjemahan bebasnya “Pilihlah pekerjaan yang kamu sukai, dan kamu tidak perlu (merasa seperti) bekerja dalam hidupmu”
Keren banget ya kalau bisa begitu….
Bagaimana dengan Anda para praktisi dan profesional di Procurement & Supply? Apakah bidang ini adalah passion Anda? Bagaimana Anda tahu bahwa Procurement & Supply adalah passion Anda?
3 hal ini bisa membantu Anda mengetahui apakah Procurement & Supply adalah passion Anda
- Apakah Anda merasa senang dalam bekerja di bidang Procurement & Supply?
- Apakah Anda merasa berdaya dan menemukan keasyikan dalam bekerja di bidang Procurement and Supply?
- Apakah Anda merasa ada dorongan dan gairah dari dalam yang kadang sulit dijelaskan tetapi memotivasi Anda dalam bekerja di bidang Procurement and Supply?
Jika jawabannya adalah 3 X “YA”, maka dapat disimpulkan bahwa Anda memang punya passion di bidang Procurement & Supply.
Passion = Procurement & Supply
Pertanyaan berikutnya, apakah passion saja sudah cukup? jawabannya adalah TIDAK
Ada 2 hal lagi yang Anda harus gali yaitu Personality dan Strength
Personality atau kepribadian adalah hal yang sangat spesifik dan Anda yang harus mengetahui sendiri A sampai Z tentang diri Anda untuk kemudian di mapping ke bidang Procurement & Supply untuk mengetahui apakah kepribadian Anda match atau cocok dengan Procurement & Supply
Personality = Procurement & Supply
Untuk mendapatkan gambaran seperti apa bekerja di Procurement & Supply silakan membaca tulisan saya sebelumnya Apa sih yang menarik dari profesi Procurement?
Strength atau kekuatan dalam bekerja dibidang Procurement & Supply bersumber dari pengetahuan, pengalaman dan keahlian yang Anda punyai. Strength ini menjadi dasar kemampuan, daya pengerak dan penunjang efisiensi dalam kita bekerja. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana Anda bisa membangun kekuatan ini silakan membaca tulisan saya sebelumnya Pengetahuan Dasar Procurement & Supply
Strength = Procurement & Supply
Kesimpulannya 3 hal ini yaitu Passion Anda; Personality Anda dan Strength Anda harus match atau cocok dengan Procurement & Supply baru Anda bisa merasakan yang dikatakan Confucius…..
Dari mana memulai improvement di SCM?
Dalam semua area bisnis termasuk di area Supply Chain Management, improvement adalah suatu hal yang harus dilakukan.
Kenapa?
Salah satu tujuan bisnis adalah menghasilkan keuntungan agar dapat membiayai operasional perusahaan termasuk membayar gaji karyawan ( gaji kita bro! ) selain untuk pengembangan bisnis dan memberikan imbal balik pada investor. Keuntungan dapat dicapai, dipertahankan dan ditingkatkan salah satunya dengan melakukan improvement yang terus menerus.
Dari mana memulai improvementnya?
Improvement dimulai dengan menemukan masalah. Trik menemukan masalah adalah berdasarkan data bukan asumsi atau opini ( silakan mengacu pada tulisan sebelumnya tentang SCM adalah organisasi berbasis data). Misalnya masalah delivery time vendor dimana data dari 12 bulan terakhir menunjukkan hanya 70% vendor deliverynya tepat waktu dan 30% vendor yang lain deliverynya terlambat.
Berdasarkan data tsb dapat dirumuskan permasalahannya kemudian dilakukan analisa untuk menemukan akar permasalahanya baru ditetapkan hasil dan tujuan improvement yang diharapkan.
Secara rinci tahapannya kurang lebih sebagai berikut:
Langkah 1 – Menentukan Mandat Dan Batasan ( 1st meeting)
Langkah 2 – Pembentukan Tim Dan Menentukan Cakupan Aktivitas (2nd meeting)
Langkah 3 – Analisa Masalah (3rd – 5th meeting)
Langkah 4 – Visi Untuk Perbaikan ( 6th – 7th meeting)
Langkah 5 – Temukan Akar Masalah dan Solusinya ( 7th – 8th meeting)
Langkah 6 – Uji Coba Solusi ( 9th and 10th meeting)
Langkah 7 – Uji Coba Solusi dan Implementasi Solusi Yang Telah Berhasil ( 11th and 12th meeting)
Langkah 8 – Mengukur Kemajuan dan Mempertahankan Hasil ( 13th meeting)
Langkah 9 – Mengkomunikasikan Hasil dan Merekomendasikan Langkah Selanjutnya ( 14th meeting)
Dengan menerapkan langkah-langkah diatas hasil dan tujuan yang diterapkan dapat dicapai dan dipertahankan karena telah melalui tahap uji coba solusi dan implementasinya sebelum dilakukan pengukuran kemajuan untuk selanjutkan dipertahankan.
Banyak hal yang bisa di improve di area Supply Chain Management asalkan perumusan masalah berdasarkan data ( bukan asumsi atau opini)
Masih bingung mau mulai improvement dari mana? mulailah dari secangkir kopi 🙂
Supply Chain Management adalah Organisasi Berbasis Data
Supply Chain Management atau SCM adalah sebuah organisasi berbasis data.
Apa artinya?
Artinya setiap keputusan dalam organisasi SCM harus berdasarkan data (bukan asumsi). Keputusan untuk memilih vendor yang diundang tender, keputusan memilih vendor yang menang tender, menentukan kinerja vendor, menentukan strategi negosiasi dan masih banyak lagi harus berbasis data.
Kenapa?
Seorang dokter yang memberi resep obat atau melakukan tindakan medis tanpa melakukan diagnosa terlebih dahulu dapat dituntut karena melakukan malpraktek.
Hal yang sama dengan praktisi di bidang SCM, jika membuat keputusan tanpa melakukan diagnosa terlebih dahulu ,sebenarnya, dapat masuk kategori yang sama dengan malpraktek tetapi dalam dunia SCM atau dalam konteks bisnis kita tidak mengenal istilah tsb maka hal ini kadang jadi luput dari perhatian.
Keputusan yang berbasis data dapat lebih dipertanggungjawabkan karena meminimalkan subyektifitas, asumsi dan merupakan salah satu cara yang elegan untuk berurusan dengan hal-hal yang terkait office politics.
CONTOH: Dalam sebuah tender dimana daftar vendor yang diundang didapat dari berbagi sumber seperti dari end user, dari hasil sourcing team Procurement atau dari rekomendasi owner. Dalam situasi ini masing-masing stake holder mempunyai “jagoannya” sendiri dan masing-masing pihak secara implisit ingin jagoannya yang menang.
Lalu bagaimana solusinya?
Solusinya adalah membuat keputusan berbasis data.
Caranya?
Caranya adalah dengan membuat kriteria tender yang transparan dan terukur. Secara umum kriteria tender terdiri dari:
1. Kriteria administrasi
2. Kriteria teknis
3. Kriteria K3L
4. Kriteria komersil
5. Kriteria hukum
Setiap kriteria memiliki bobot yang terukur dan harus didukung dengan dokumentasi yang jelas.
Tahap berikutnya adalah mengumpulkan data berdasarkan kriteria diatas. Metode pengumpulan datanya bisa bermacam-macam mulai dari desktop study, wawancara, presentasi, site visit dll. Berdasarkan data yang sudah terkumpul maka proses evaluasi dapat dilakukan dengan memakai sistem pembobotan yang sudah di sepakati. Hasilnya adalah sebuah rekomendasi berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.
Dalam konteks bisnis yang sesungguhnya atau dalam kehidupan nyata kadangkala kita berhadapan pihak manajemen atau pemilik bisnis yang membuat sebuah executive decision yang berbeda dengan data yang ada. Lalu kita harus bagaimana? apakah kita tetap harus ngotot dengan data yang ada?
Pengetahuan Dasar Procurement & Supply
Revolusi industri 4.0 adalah kata-kata yang semakin sering disebut akhir-akhir ini baik di tulisan-tulisan yang banyak bersliweran di internet sampai tulisan yang di repost di media sosial termasuk di group-group WhatsApp
Konsep penerapan revolusi industri 4.0 adalah berpusat pada konsep otomatisasi yang dilakukan oleh teknologi tanpa memerlukan tenaga kerja manusia dalam proses pengaplikasiannya.
Hal ini akan secara perlahan mentransformasi seluruh aspek industri terutama dari sisi metode kerja dan sumber daya manusianya sebagai pelaku utama industri termasuk metode yang selama ini dipakai di bidang Procurement & Supply. Metode dan cara kerja yang saat ini dianggap best practice akan dipaksa berubah menyesuaikan gelombang perubahan revolusi industri 4.0
Kunci untuk menghadapi perubahan ini adalah #dothebasicright. Kenapa ” Do The Basic Right?”
Kita semua masih ingat perubahan dari kamera analog ke kamera digital yang sekarang dipakai disetiap smart phone. Dengan adanya perubahan ini semua orang mendadak bisa jadi fotografer. Mereka bisa mengambil foto dimanapun dan kapanpun dengan smartphone mereka sehingga media sosial dan group whatsApp dipenuhi ribuan foto yang dikirim setiap detiknya. Kualitas foto yang dipertukarkan beragam ada yang bagus dan ada yang biasa saja. Saya amati orang-orang yang menguasai basic fotografi pada jaman analog dulu hasil fotonya lebih bagus apalagi kalau foto-foto tersebut diambil pada kondisi-kondisi yang sulit misalnya foto backlight. Orang yang mengerti basic fotografi akan tahu caranya untuk mengambil foto yang bagus dalam situasi backlight.
Hal yang sama dengan Procurement & Supply, orang yang menguasai basicnya akan lebih siap untuk masuk dalam gelombang revolusi industri 4.0 termasuk juga lebih siap menghadapi kesulitan-kesulitan dalam operasional sehari-hari.
Persiapan yang paling penting memasuki era revolusi industri 4.0 ini adalah kemauan untuk belajar hal baru dalam konteks untuk menambah skill atau keahlian ( Skill Up) karena di fase awal 4.0 ini banyak hal-hal yang bersifat administrasi, repetitive dalam lingkungan yang terstruktur punya potensi untuk dibuat otomatis sehingga SDM yang dulu mengerjakan harus dilatih skill baru karena pekerjaan lamanya sudah bisa di otomatisasi.
Untuk belajar hal-hal baru akan lebih mudah apabila kita sudah menguasai dasarnya. Di era digital ini media belajar sangat beragam mulai dari mengikuti training, workshop, belajar dari tulisan di internet, mendengarkan podcast sampai menonton you tube. Salah satu media belajar konsep dasar pembelian adalah melalui online training karena menawarkan banyak kemudahan mulai dari biaya yang sangat terjangkau, waktu belajar yang sangat flexible (dimanapun dan kapanpun) dan bisa mengulang-ulang pelajaran bagi yang belum mengerti.
Pain Points di Operasional Procurement
Terjemahan bebas dari pain points di procurement adalah titik sakit dalam procurement atau kesulitan dalam procurement.
Secara umum, pain points atau kesulitan dalam procurement dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu
1. Pain points atau kesulitan karena produktivitas yang menyebabkan staff procurement tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien
2. Pain points atau kesulitan karena proses procurement
3. Pain points atau kesulitan terkait masalah keuangan
Untuk mengetahui jenis-jenis kesulitan dari 3 kategori tersebut, saya melakukan survey terhadap 100 praktisi procurement di Indonesia.
Survey dilakukan dengan meminta responden untuk memilih satu dari lima pilihan pain points atau kesulitan dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
Hasilnya 3 hal ini adalah “kesulitan” paling top dalam bekerja di bidang procurement:
a. Urgent Request menempati urutan tertinggi dengan prosentase 36%
Berdasarkan pengalaman saya, 80% urgent request muncul karena kurangnya perencanaan sehingga sesuatu yang seharusnya penting tapi tidak mendesak menjadi sesuatu yang penting dan mendesak. Konsekuensi dari sesuatu yang mendesak adalah biaya pembelian yang meningkat. Misalnya pengiriman barang yang normalnya 3 minggu tetapi karena mendesak dan harus di pakai dalam 3 hari maka barang tersebut dikirim dengan airfreight yang biayanya berkali-kali lipat lebih mahal.
b. Knowledge & Skills menempati urutan kedua dengan prosentase 25%
Pengetahuan dan ketrampilan dalam mengerjakan sesuatu adalah dasar untuk dapat bekerja secara efektif dan efisien. Jika pengetahuan dan ketrampilan ini tidak dikuasai maka pekerjaan akan dilakukan berdasarkan common sense atau akal sehat melalui beberapa proses trial & error sampai menemukan suatu cara yang dirasa efektif dan efisien.
Hasil kerja dari procurement mempunyai dampak langsung terhadap biaya operasional perusahaan. Bila biaya operasional perusahaan tinggi maka keuntungan perusahaan menjadi kecil bahkan bisa jadi merugi.
Jadi untuk dapat bekerja dengan efektif, efisien, berdampak dan berkontribusi terhadap keuntungan perusahaan penguasaan akan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang procurement menjadi kuncinya.
c. Intervensi Senior Management/Owner menempati urutan ketiga dengan prosentase 20%
Dari sudut pandang staff procurement yang menjalankan proses pengadaan barang dan jasa, intervensi terhadap proses yang sedang berlangsung bisa sangat menganggu dan kadang dirasa sebagai sesuatu yang negatif tetapi “boss” punya helicopter view dan kepentingan tertentu sehingga intervensi tersebut dilakukan. Yang penting ada mekanisme yang jelas sehingga deviasi terhadap proses tersebut menjadi tanggung jawab pihak yang melalukan intervensi. ( emang nggak mudah sih….)
Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat bahwa dua dari tiga kesulitan paling top di procurement masuk kategori pain points proses dan satu masuk kategori pain points produktivitas. Hasil survey ini sejalan dengan pengalaman penulis selama lebih dari 15 tahun mengelola pembelian barang dan jasa.
Kesimpulannya : Pengetahuan mengenai top pain points dalam procurement yang didukung dengan hasil survey dapat membantu para praktisi procurement untuk membuat langkah-langkah strategis agar pain points tersebut dapat diantisipasi lebih awal dan tidak menyudutkan atau menyulitkan posisi kita sebagai praktisi procurement.
Peran Procurement di Indonesia
Saya melakukan survey kepada 100 praktisi procurement di Indonesia untuk mengetahui bagaimana persepsi mereka tentang peran Procurement di perusahaan mereka masing-masing.
Survey dibuat dengan 3 pertanyaan yaitu pertanyaan tentang peran procurement di perusahaan mereka, persentase staff procurement yang memiliki disiplin ilmu Procurement/Supply Chain Management dan frekwensi mereka mengikuti training dalam 2 tahun terakhir.
Inilah hasil survey tersebut:
1. Peran Procurement
81% responden menjawab pemilik perusahaan atau senior management memandang procurement mempunyai peran strategis dalam perusahaan mereka.
Ini adalah kabar baik dan sangat penting untuk para praktisi procurement karena peran dan keberadaan procurement sudah mendapat pengakuan dari para pengambil keputusan. Artinya sudah ada pemahaman bahwa hasil kerja procurement mempunyai dampak langsung terhadap biaya operasional perusahaan yang notabene mempunyai dampak juga terhadap besar kecilnya keuntungan perusahaan.
2. Latar Belakang Pendidikan Bagian Procurement
28% responden menjawab di tempat kerja mereka tidak ada yang memilik latar belakang pendidikan procurement/supply chain management dan 32% menjawab kurang dari 20% artinya mayoritas staff yang bekerja di bidang procurement tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai.
Hal ini dapat dipahami karena di Indonesia juga masih sangat sedikit sekali perguruan tinggi yang mempunyai jurusan Supply Chain Management plus fakta bahwa banyak juga para para profesional sekarang yang bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya seperti banker yang latar belakangnya sarjana pertanian dll.
3. Frekwensi Mengikuti Pelatihan
Ini fakta yang cukup mengejutkan bahwa 37% responden tidak pernah sama sekali mengikuti pelatihan dan 33% menjawab hanya mengikuti 1 kali pelatihan dalam 2 tahun terakhir. Data ini menunjukkan kesempatan yang diberikan perusahaan untuk mengikuti pelatihan masih terbatas.
Hal ini kontradiktif dengan fakta pertama dimana 81% pemilik perusahaan dan senior management memandang bahwa procurement memilii peran strategis tetapi tidak memberikan cukup kesempatan untuk mengikuti pelatihan.
Pengembangan karyawan memang tidak terbatas pada pelatihan saja, perusahaan dapat mengembangkan karyawan dengan penugasan pada posisi tertentu atau proyek tertentu tetapi pengetahuan tentang bagaimana bekerja di bidang Procurement/Supply Chain Management juga penting untuk diketahui apalagi pengetahuan yang didapat dari praktisi yang mempunyai pengalaman di bidang tsb.
Pengembangan diri adalah tanggung jawab pribadi. Jika perusahaan kita memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan itu bagus tetapi jika tidak kita bisa juga belajar sendiri diluar kantor. Sama seperti halnya kita perlu makan dan minum untuk bekerja maka kita juga perlu memberi makan dan minum pengetahuan tentang procurement untuk otak kita.
Kesimpulan saya dari survey ini adalah Profesi Procurement sudah mendapatkan pengakuan dari para pemegang keputusan di perusahaan tetapi jumlah profesional procurement yang memilik latar belakang yang sesuai dan secara teratur mengikuti pelatihan masih sedikit oleh karena itu para profesional procurement perlu proaktif untuk mengusahakan dapat mengikuti pelatihan baik dengan fasilitas perusahaan atau mengikuti pelatihan diluar sendiri.