Terjemahan bebas dari pain points di procurement adalah titik sakit dalam procurement atau kesulitan dalam procurement.
Secara umum, pain points atau kesulitan dalam procurement dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu
1. Pain points atau kesulitan karena produktivitas yang menyebabkan staff procurement tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien
2. Pain points atau kesulitan karena proses procurement
3. Pain points atau kesulitan terkait masalah keuangan
Untuk mengetahui jenis-jenis kesulitan dari 3 kategori tersebut, saya melakukan survey terhadap 100 praktisi procurement di Indonesia.
Survey dilakukan dengan meminta responden untuk memilih satu dari lima pilihan pain points atau kesulitan dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
Hasilnya 3 hal ini adalah “kesulitan” paling top dalam bekerja di bidang procurement:
a. Urgent Request menempati urutan tertinggi dengan prosentase 36%
Berdasarkan pengalaman saya, 80% urgent request muncul karena kurangnya perencanaan sehingga sesuatu yang seharusnya penting tapi tidak mendesak menjadi sesuatu yang penting dan mendesak. Konsekuensi dari sesuatu yang mendesak adalah biaya pembelian yang meningkat. Misalnya pengiriman barang yang normalnya 3 minggu tetapi karena mendesak dan harus di pakai dalam 3 hari maka barang tersebut dikirim dengan airfreight yang biayanya berkali-kali lipat lebih mahal.
b. Knowledge & Skills menempati urutan kedua dengan prosentase 25%
Pengetahuan dan ketrampilan dalam mengerjakan sesuatu adalah dasar untuk dapat bekerja secara efektif dan efisien. Jika pengetahuan dan ketrampilan ini tidak dikuasai maka pekerjaan akan dilakukan berdasarkan common sense atau akal sehat melalui beberapa proses trial & error sampai menemukan suatu cara yang dirasa efektif dan efisien.
Hasil kerja dari procurement mempunyai dampak langsung terhadap biaya operasional perusahaan. Bila biaya operasional perusahaan tinggi maka keuntungan perusahaan menjadi kecil bahkan bisa jadi merugi.
Jadi untuk dapat bekerja dengan efektif, efisien, berdampak dan berkontribusi terhadap keuntungan perusahaan penguasaan akan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang procurement menjadi kuncinya.
c. Intervensi Senior Management/Owner menempati urutan ketiga dengan prosentase 20%
Dari sudut pandang staff procurement yang menjalankan proses pengadaan barang dan jasa, intervensi terhadap proses yang sedang berlangsung bisa sangat menganggu dan kadang dirasa sebagai sesuatu yang negatif tetapi “boss” punya helicopter view dan kepentingan tertentu sehingga intervensi tersebut dilakukan. Yang penting ada mekanisme yang jelas sehingga deviasi terhadap proses tersebut menjadi tanggung jawab pihak yang melalukan intervensi. ( emang nggak mudah sih….)
Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat bahwa dua dari tiga kesulitan paling top di procurement masuk kategori pain points proses dan satu masuk kategori pain points produktivitas. Hasil survey ini sejalan dengan pengalaman penulis selama lebih dari 15 tahun mengelola pembelian barang dan jasa.
Kesimpulannya : Pengetahuan mengenai top pain points dalam procurement yang didukung dengan hasil survey dapat membantu para praktisi procurement untuk membuat langkah-langkah strategis agar pain points tersebut dapat diantisipasi lebih awal dan tidak menyudutkan atau menyulitkan posisi kita sebagai praktisi procurement.