Kelangkaan Praktisi Procurement

Talent Shortage .001

Pada tahun 2014 sebuah lembaga survey, Supply Chain Insight LLC, yang berbasis di Hanover, Pennsylvania, Amerika mengadakan penelitian tentang  jumlah praktisi Supply Chain yang berpengetahuan dan berpengalaman di Amerika dalam hubungannya dengan penerimaan karyawan, pelatihan karyawan dan keberhasilan menjawab tantangan pekerjaan. Penelitian ini sudah  dilakukan 4 ( empat) tahun lalu namun kesimpulannya masih valid dan mencerminkan kondisi dunia Supply Chain saat ini di Indonesia Yang berbeda, mungkin, hanya dari segi kuantitatifnya saja.

Penelitian ini menyoroti kurangnya jumlah praktisi procurement yang disebabkan oleh beberapa hal:

  1. Kurangnya dukungan dan perhatian management sehingga mereka tidak menginvestasikan waktu atau uang untuk pengembangan diri para praktisi procurement.
  2. Proses recruitment yang tidak efektif
  3. Tidak ada pelatihan dan jenjang karir yang jelas untuk praktisi procurement
  4. ( Tambahan dari saya) Mayoritas praktisi procurement di Indonesia berasal dari berbagai disiplin ilmu seperti engineering (80%) dan dari finance, legal dll (20%) dan hanya sedikit sekali yang benar-benar belajar Purchasing & Supply.

Top 3 Pain in SCM

Data diatas menunjukkan 3 masalah utama dalam bidang Supply Chain Management. Ketersediaan praktisi procurement yang berpengetahuan dan berpengalaman menjadi masalah kedua yang terbesar (46%).  Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam proses penerimaan karyawaan diperlukan rata-rata 4.5 bulan untuk mengisi posisi praktisi procurement yang kosong terutama di level middle management.

Saya tidak tahu apakah di Indonesia sudah ada yang melakukan penelitian yang serupa tapi dari pengamatan saya yang terbatas ini, elemen-elemen yang dalam tabel diatas juga terjadi di Indonesia, namun berbeda prosentasenya.

Kesimpulan saya pribadi:  pengembangan diri profesional Procurement adalah salah satu elemen yang harus lebih diperhatikan oleh pihak manajemen. Dengan persaingan usaha yang begitu ketat dan cepatnya perkembangan teknologi maka sudah layak dan sepantasnya bahwa manajemen mulai menginvestasikan waktu dan dana untuk mengembangkan para Supply Chain di perusahaannya melalui pelatihan, lokakarya, coaching dan mentoring.

Don’t Hire Resume

Don't Hire Resume.001

Brigette Hyacinth, penulis buku The Future of Leadership, pernah menulis sebuah artikel tentang pengalaman dia dalam merekrut orang. Dia merekrut orang yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan yang diminta, namun memiliki rekam jejak yang baik dan memiliki passion akan pekerjaan tsb. Singkat kata, dia memilih kandidat ini dibandingkan kandidat lain yang hanya membanggakan  kualifikasi pendidikan dia dll. Pada akhirnya terbukti kandidat ini terbukti mampu bekerja dengan baik.

Di akhir artikelnya, dia menulis :

Don’t hire a resume, Hire a real person! 

Saya cenderung setuju dengan mbak Hyacinth ini karena pada akhirnya bukan ijasah atau sertifikat yang menentukan apakah kita bisa Get Things Done atau mrantasi gawean ( bahasa Jawa) dan berkontribusi pada perusahaan TETAPI passionskill, dan kerja keras kitalah yang menentukan.

Ijasah dan sertifikat memang penting tetapi yang lebih penting menguasai skill tertentu yang bisa menjadi nilai jual dan modal dasar untuk dapat berkontribusi pada perusahaan. Memiliki ijasah dan sertifikat akan membuat resume kita menarik tetapi tidak menjamin kita berhasil dalam test dan interview dimana akan terlihat track record, achievement & contribution kita

Basic Skill atau ketrampilan-ketrampilan dasar di bidang Purchasing & Supply/Procurement bisa didapat melalui pekerjaan kita sehari-hari atau melalui workshop/lokakarya yang benar-benar melatih Anda untuk menguasai ketrampilan baru dan tidak sekedar memberi informasi dan pengetahuan baru saja.

Kesimpulannya sangat penting untuk meningkatkan ketrampilan Anda dan bukan sekedar mengkoleksi sertifikat.

 

Teknologi dalam Procurement

Technology In Procurement.001

Procure to pay, blockchain, e-procurement, artificial intelligent, machine learning, e-auctions , IoT, dan spend analytic adalah beberapa kosa kata yang sering dikaitkan dengan teknologi di procurement.

Untuk menerapkan teknologi di procurement sebuah perusahaan, biasanya, sudah melewati beberapa fase mulai dari proses pembelian manual dengan kertas sampai penerapan e-procurement seperti ilustrasi di bawah ini

Screen Shot 2018-09-20 at 19.20.04

Di beberapa perusahan kecepatan perubahan penerapan teknologi di procurement berjalan begitu cepat; tetapi di perusahaan lain perubahan berjalan lambat bahkan nyaris tidak ada perubahan.

Saya tidak punya data yang pasti ada berapa % perusahaan ini Indonesia yang masih melakukan proses pembelian secara manual, berapa % yang sudah mengunakan ERP, berapa % yang sudah mengunakan e-procurement dsb. Perkiraan saya mayoritas sudah mengunakan ERP, hanya sebagian kecil yang sudah mengunakan e-procurement tetapi masih ada yang memproses secara manual.

Terlepas dari prosentase diatas dan terlepas berapa banyak feature di ERP atau platform apapun itu yang benar-benar dipakai dalam proses procurement ada skills penting dalam proses procurement yang tidak dapat digantikan oleh teknologi.

Skills apa itu?

  1. Problem Solving Skills – kemampuan untuk mengambil inisiatif dan tidak menunggu diberitahu apa yang harus dilakukan
  2. Communication & Interpersonal Skills – kemampuan untuk berkomunikasi, berhubungan dengan orang lain, memiliki fleksibilitas, memiliki EQ yang tinggi dan  akal sehat
  3. Learning Skills – kemampuan untuk belajar hal-hal baru, memiliki kreatifitas dan kemauan untuk terus belajar sepanjang waktu

3 skills tersebut tidak dapat digantikan dengan teknologi apapun bahkan penerapan teknologi dalam procurement tidak akan banyak bermanfaat tanpa ketiga skills tersebut.

Procurement yang Baik dan Benar

Melakukan proses pembelian  dengan baik dan benar adalah sebuah harapan yang tidak muluk-muluk namun sangat menantang untuk dilakukan terutama untuk Anda yang berprofesi di bidang Procurement.

Kenapa sangat menantang? karena ada beberapa kondisi yang tidak baik dan benar, namun karena dari sononya sudah begitu maka hal tersebut dianggap sudah biasa.

Kondisi apa saja itu?

(1) Scope of Work atau Spesifikasi yang tidak detil. Hal ini  dapat menyebabkan masalah pada saat tender proses dan pada saat pelaksanaan pekerjaan atau pengiriman barang. Para peserta tender/vendor akan sulit memberikan harga yang terbaik jika scope of work atau spesifikasinya terlalu singkat dan umum. Para vendor akan cenderung bermain aman supaya tidak rugi.

Masalah lain yang muncul adalah pada saat pelaksanaan kontrak atau pengiriman barang akan berpotensi muncul banyak kejutan mulai dari tambahan biaya, ketidakjelasan tanggung jawab masing-masing pihak yang berujung pada perselisihan sampai kegagalan pekerjaan.

(2) Proses procurement yang dilakukan tanpa strategi sehingga akhirnya menjadi  proses administrasi semata dan cenderung bersifat reaktif. Proses ini seharusnya dilakukan dengan strategi yang lahir dari data dan analisa sehingga dapat memberikan kontribusi yang baik dan berdampak pada naiknya keuntungan perusahaan karena biaya pembelian bahan baku produksi  yang lebih rendah, adanya jaminan pasokan untuk produksi, dan ketepatan pengiriman barang.

(3) Tidak adanya kebijakan pembelian dan prosedur pembelian yang baku sehingga proses pembelian dilakukan berdasarkan kebiasan turun temurun tanpa pernah ditinjau ulang apakah proses tersebut efektif dan efisien

Kondisi diatas disebabkan oleh beberapa hal dan salah satu sebabnya adalah pengetahuan dari praktisi procurement itu sendiri.  Mayoritas praktisi dalam bidang ini bekerja berdasarkan learning by doing. Idealnya mereka juga perlu belajar hal-hal yang fundamental dari proses procurement yang utuh sehingga memiliki dasar pengetahuan untuk melakukan pekerjaannya.

Berbekal pengetahuan yang dasar ini  barulah mereka  bisa membuat sebuah perubahan dan kontribusi buat perusahaannya. Oleh karena itu sudah sewajarnya mereka mengikuti program pengembangan diri yang terencana apalagi hasil kerja para praktisi Procurement ini memiliki hubungan langsung dengan untung atau ruginya sebuah perusahaan.

 

 

 

 

 

 

 

Merancang Strategi Pembelian Berdasarkan Supply Positioning Model

Supply Positioning Model (SPM) adalah suatu model yang dikembangkan oleh Peter Kraljic untuk mengkategorikan barang dan jasa berdasarkan nilai pembelian (Value of Purchase) dan besar kecilnya resiko (Level of Risk). Tujuan dari pengkategorian ini adalah untuk menentukan strategi pembelian dari barang dan jasa tertentu.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengkategorian ini adalah durasi dan frekwensi pembelian.  Data yang dianalisa sebaiknya minimal mencerminkan periode selama 12 (duabelas) bulan sehingga nilai total pembeliannya cukup significant dan cukup menarik untuk para supplier.

Hal lain lagi yang tidak kalah penting adalah masalah penilaian resiko. Resiko yang harus dilihat dari 2(dua) sisi yaitu resiko internal yaitu resiko yang timbul akibat tidak tersedianya barang atau jasa tersebut dan resiko eksternal seperti tingkat ketergantungan kita terhadap supplier tsb dan juga masalah ketersediaan barang dan jasa pada saat kita butuhkan.

SPM ini juga dikenal sebagai Kraljic Matrix

kraljicmatrix

Ciri-ciri dari masing-masing kategori diatas adalah sbb

a. Routine Products

  • Nilai pembeliannya kecil
  • Resiko akibat ketidaktersediaan barang dan jasa tsb kecil
  • Jumlah itemnya sedikit
  • Jumlah suppliernya banyak
  • Terkadang menghabiskan waktu dalam proses pembeliannya

Contoh: alat tulis kantor

b. Bottleneck Products 

Dari sisi nilai pembelian, bottleneck items sedikit mirip dengan Routine Products tetapi yang membedakan adalah resiko akibat ketidaktersediaan barang tersebut dan tingginya ketergantungan kepada supplier tertentu.

Contoh: sparepart yang hanya tersedia dari satu supplier karena terkait hak patent pada peralatan tertentu

c.   Leverage Products

  • Nilai pembeliannya besar
  • Resiko akibat ketidaktersediaan barang dan jasa tsb besar
  • Jumlah suppliernya banyak

Contoh:  pembelian komputer untuk 500 orang karyawan

d. Critical Product

  • Nilai pembeliannya besar
  • Resiko akibat ketidaktersediaan barang dan jasa tsb besar
  • Jumlah suppliernya sedikit

Contoh: pembelian bahan bakar solar untuk perusahaan tambang yang punya 250 unit dump truck.

Contoh-contoh yang diberikan diatas sangat mungkin berbeda untuk setiap perusahaan. Jadi bisa jadi bahan bakar solar akan masuk kategori leverage products untuk perusahaan manufaktur karena nilai terbesar dan yang paling berisiko di perusahaan manufaktur tsb adalah bahan kimia tertentu.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menerapkan strategi pembelian setelah kita mengkategorikan barang dan jasa di perusahaan kita? misalnya untuk Routine Products. Strategi apa yang tepat?

Untuk Routine Products strategi yang  bisa dipakai adalah sebagai berikut:

  1. Menganalisa apakah barang-barang tersebut bisa di kelompokan dalam satu kategori misalnya alat tulis kantor dan asesories komputer dibuat dalam satu kelompok
  2. Berdasarkan dari kelompok pembelian tersebut maka kita buatkan kontrak pembelian jangka waktu tertentu misalnya 12 bulan. Didalam kontrak ini, supplier menyediakan barang atau jasa sesuai dengan harga yang valid untuk 12 bulan dan akan mengirimkan barang atau jasa yang kita minta pada saat dibutuhkan dengan waktu pengiriman 2 hari kerja. Dengan membuat kontrak pembelian ini maka buyer tidak perlu melakukan tender setiap ada permintaan ATK dan asesories komputer.

Itulah salah satu contoh strategi yang bisa diterapkan berdasarkan SPM. Mudah-mudahan bermanfaat.

 

 

 

 

Jangan Abaikan Kinerja Kontraktor

Sebuah kisah sedih di hari Senin. ( Percakapan antara manajer Operasional (MO) dan manajer Procurement (MP).

MO : Pengemudi bisnya terlambat lagi sehingga semua karyawan yang shift malam juga terlambat

MP: Kejadian ini sudah berulang kali. Saya akan panggil manajer PT ABC besok pagi ( telpon ditutup)

MP membuka kontrak Jasa Antar Jemput Karyawan. Jumlah bis untuk AJK ada 25 unit bis tapi sayangnya tidak ada standar penilaian unjuk kerja kontraktor sehingga agak sulit untuk mengelola kinerja mereka tanpa “tools” yang tertulis dan spesifik.

Key Performance Indicator atau Penilaian Unjuk Kerja (“PUK”) adalah tools yang mandatory harus ada didalam setiap kontrak.

Kenapa ?

Karena jika kita tidak punya PUK maka akan sulit untuk mengontrol kinerja kontraktor.

Dari contoh diatas karena tidak ada kriteria penilaian unjuk kerja kontraktor yang tertulis maka ketika kontraktor tidak memberikan pelayanan yang diminta kita tidak bisa menunjukkan secara tertulis standar kinerja yang diminta seperti apa. Jika kita menulis dan menetapkan standar kinerja maka setiap saat kita bisa menunjukkan apakah kontraktor tersebut bekerja sesuai standar, dibawah standar atau diatas standar.

PUK adalah tools yang bisa dipakai untuk mengontrol kontraktor kita sekaligus tanda bahwa kita memegang kendali atas kontraktor tersebut. Jika kita tidak memegang kendali operasional atas kontraktor tersebut maka akan sulit untuk mengatur kinerja operasional mereka. Jika kita tidak bisa mengatur kinerja operasional kontraktor maka operasional perusahaan kita terpapar akan resiko produksi, resiko K3L bahkan resiko keuangan.

Penilaian Unjuk Kerja Kontraktor pernah saya tulis dalam artikel berjudul Menilai Kinerja Supplier. Dalam artikel ini diulas secara ringkas kenapa kita perlu menilai kinerja supplier, apa saja yang dinilai dan kapan menilainya. Untuk belajar lebih lanjut mengenai menilai kinerja supplier bisa mengikuti worskhop yang diadakan penulis atau dari lembaga training lainya.

 

 

 

Mendefinisikan Supplier Yang Baik

Menyambung tulisan saya sebelumnya tentang memilih supplier. Saat ini saya mau sharing tentang bagaimana cara mendefiniskan supplier yang baik atau bahasa kerennya a good supplier. Mendefinisikan a good supplier tentunya berbeda dengan cara mendefisikan a good husband atau a good wife.

Sejujurnya membuat definisi a good supplier yang bisa diterima oleh semua orang agak sulit karena setiap orang punya kriteria masing-masing tetapi kriteria dasarnya adalah 5R ( right price, right time, right place, right quantity dan right quality). Jadi jika dibuat kriterianya kurang lebih adalah sebagai berikut :

  1. Menawarkan harga yang kompetitif
  2. Jadwal pengiriman yang tepat waktu
  3. Kualitas barang atau jasa yang konsisten
  4. Jaminan purna jual yang baik termasuk technical support yang dapat diandalkan
  5. Responsif dan komunikatif
  6. Mempunyai keuangan yang sehat
  7. dll

Sumber lain memakai kriteria yang lebih kompleks yang dikenal dengan nama 7C (Competency, Capacity, Commitment, Control, Cash, Cost, Consistency).

Namun apapun kriteria yang dipakai ada yang yang lebih penting dan perlu dilihat dari sudut pandang supplier.

Jika buyer mulai mendefinisikan a good supplier, saya pikir sah-sah saja bila supplier juga mendefinisikan a good customer.

Kenapa?

Pandangan bahwa pembeli adalah raja tampaknya mulai agak bergeser di jaman now ini. Begitu juga gelar favourite customer  adalah untuk pembeli yang selalu membayar tepat waktu juga mulai bergeser karena antara pembeli dan penjual sekarang mulai berkolaborasi untuk mengembangkan hubungan jangka panjang yang menguntungkan kedua belah pihak.

Hubungan jangka panjang ini memiliki berbagai label mulai dari simbiosis mutualisme atau kerjasama yang saling menguntungkan, sinergi, kolaborasi, partnership dll.

Singkat kata hubungan “2+2 =5” dapat terwujud dimana masing-masing pihak mendapatkan keuntungan yang lebih dari sekedar keuntungan $$$ saja.

#dothebasicright

 

 

 

Jebakan Gerakan Penurunan Biaya

Konsep tradisional  pembelian adalah untuk mendapatkan barang atau jasa yang tepat, dalam jumlah yang tepat, untuk dikirim pada waktu yang tepat dan ke tempat yang tepat, dibeli dari sumber yang tepat dan dengan harga yang tepat. Konsep ini sudah lama berevolusi, bahkan sebelum Perang Dunia ke 2. Namun pada kenyataanya masih ada perusahaan yang memakai konsep tersebut, walaupun sudah ada beberapa perusahaan yang sedang dalam tahap berevolusi ke konsep pembelian yang strategis, terintegrasi dan sesuai jaman now.

Tuntutan dan tekanan untuk menurunkan biaya menyebabkan orang lupa akan korelasi dari Harga – Waktu – Kualitas

Triangle Cost Time Quality

Ketika biaya diturunkan maka akan berkorelasi dengan bertambahnya waktu produksi atau pengiriman barang; atau menurunkan kualitas

Sebaliknya ketika kita memerlukan barang atau jasa dengan kualitas yang baik maka akan berkorelasi dengan harga atau biaya yang lebih tinggi dibandingkan kalau kita membeli barang atau jasa yang kualitasnya biasa-biasa saja.

Jadi untuk terhindar dari jebakan penurunan harga maka kita perlu berpikir strategis dan kreatif karena ada banyak usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk mendapat  value for money dari barang atau jasa yang kita beli.

Value for money ini perlu diusahakan dengan konsisten karena perlu waktu untuk terlihat hasilnya. Beberapa ide untuk mendapatkan value for money dari barang dan jasa yang kita beli adalah sebagai berikut:

  1. Menginterasikan strategi pembelian ke strategi bisnis
  2. Mengembangkan hubungan yang mempunyai nilai tambah dengan pemasok
  3. Menerapkan  proses seleksi pemasok yang ketat
  4. Bekerjasama dengan  tim lintas fungsional dalam proses seleksi pemasok
  5. Memanfaatkan pemasok sebagai konsultan

dan masih banyak cara lagi yang bisa dilakukan agar kita tidak terjebak dalam gerakan penurunan harga.

 

 

 

 

Mendeteksi Motivasi Supplier

Dalam sebuah proses tender, buyer biasanya melakukan asesemen terhadap supplier yang diundang tender untuk melihat kemampuan supplier tsb dari sisi teknikal, safety, komersil dan finansial. Intinya adalah untuk menganalisa resiko sebelum menunjuk supplier tersebut menjadi pemenang tender.

Sesudah supplier tersebut ditunjuk menjadi pemenang tender dan mulai bekerja maka buyer akan melakukan asesmen lagi untuk menilai kualitas kinerja supplier tersebut.

Dua asesmen yang dijelaskan diatas belum memberikan gambaran lengkap tentang supplier tersebut. Mengapa?  karena kinerja supplier sangat ditentukan oleh motivasinya untuk bekerja dalam memenuhi kewajiban kontrak dengan perusahaan Anda.

Rumus sederhananya adalah sebagai berikut

Kinerja supplier = Kemampuan X Motivasi

Untuk mengetahui motivasi supplier secara cepat dapat dilihat dengan 2 cara

Cara 1:  Supplier Perception Matrix

Matrix ini membantu melihat bagaimana persepsi supplier terhadap perusahaan kita. Supplier kita pasti memiliki banyak kustomer dan mereka punya persepsi yang berbeda-beda terhadap kustomernya. Dengan memakai matrix ini, kita bisa mengetahui secara lebih pasti persepsi supplier terhadap perusahaan kita.

supplier_preferencing

Secara singkat ada 4 kategori kustomer bagi supplier

Kategori Nuisance yang nilai bisnisnya kecil

Kategori Exploit yang nilai bisnisnya lebih besar dari kategori nuisance dan cukup menguntungkan buat supplier

Kategori Develop yang bisnisnya menarik untuk supplier tapi nilai bisnisnya kecil

Kategori Core yang bisnisnya menarik untuk supplier dan nilai bisnisnya besar. Di kategori core ini perusahaan kita adalah customer utama atau minimal masuk 3 besar customer untuk supplier tersebut

Cara 2:  Cash is King

Ada sebuah mantra yang berbunyi

Revenue is Vanity ( Kecantikan)

Profit is Sanity ( Akal sehat)

Cash is Reality ( Kenyataan)

Bagaimana track record pembayaran perusahaan Anda? Apakah selalu sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati dalam PO/SPK/Kontrak?

Bagi supplier yang paling penting adalah dibayar. Sesuai mantra diatas Cash is Reality . Memiliki nilai kontrak atau nilai pembelian yang tinggi dari perusahaan Anda adalah sebuah kecantikan (vanity) tetapi jika pembayarannya mundur 12 bulan bahkan 24 bulan maka tidak lagi menjadi sebuah kecantikan.

Jadi kita bisa melakukan self assesment dengan 2 cara diatas untuk melihat seberapa kuat motivasi supplier mau men-supply barang atau bekerja sebagai kontraktor diperusahaan kita sebagai dasar dalam melakukan negosiasi

3 Invisible Faktor Dalam Relasi Buyer- Supplier

Saat ini para praktisi procurement mulai menyadari bahwa ada spektrum hubungan buyer-supplier yang cukup lebar, apalagi secara umum hubungan buyer-supplier dapat dipetakan dalam dua kondisi yang cukup ektrem yaitu arm’s length yang lebih bersifat transaksional dan partnership yang memiliki nilai ekonomis, tingkat kepercayaan dan komitment yang tinggi.

RELATIONSHIP+SPECTRUM
Relationship Spectrum of Buyers and Sellers (Diagram from workbook by Mike Fogg) RELATIONSHIP SPECTRUM.

Hal-hal yang biasa mendasari relasi antara buyer dan supplier adalah keterbukaan informasi & data, kepercayaan, komitmen, durasi kontrak, manajemen resiko dll. Namun  ada 3 hal yang nyaris tidak nampak dipermukaan (invisible) yang mendasari hubungan buyer-supplier. 3 hal tersebut adalah kekuatan posisi tawar,  kecocokan  budaya dan kecocokan teknologi.

1.Kekuatan Posisi Tawar

Perusahaan dengan kekuatan posisi tawar yang kuat akan menjadikan posisi tawarnya untuk memulai hubungan bisnis dengan suppliernya ( baca membeli barang atau jasa). Ciri-ciri posisi tawar dari sebuah perusahaan adalah nilai ekonomis yang tinggi, volume yang besar dan durasi kontrak yang panjang atau gabungan ketiganya sebaliknya supplier juga bisa memiliki posisi tawar yang kuat yang didapat karena supplier ini memegang hak distribusi di area tertentu, memiliki patent atas produk tertentu atau hak atas kekayaan intelektual atas sebuah produk atau memonopoli penjualan diarea tertentu. Kekuatan posisi tawar ini baik sadar atau tidak disadari seringkali dijadikan salah satu faktor dalam memilih supplier.

2.Kecocokan Budaya 

Kecocokan budaya ini dapat dilihat dari berbagai sudut misalnya dari kebijakan terkait masalah lingkungan, kebijakan terkait keselamatan kerja, cara kerja dan budaya perusahaan. Misalnya ada sebuah perusahaan yang melakukan tender untuk  penyediaan mesin produksi.  Dari 3 peserta tender, ada salah satu peserta yang mengunakan mesin dengan teknologi yang paling efisien namun mengunakan bahan kimia yang tidak ramah lingkungan. Mesin ini sudah dipakai di 80% pabrik diarea tersebut . Namun karena masalah isu lingkungan ini tidak sejalan dengan nilai yang dianut oleh perusahaan tersebut, maka kemungkinan besar perusahaan tersebut akan memilih supplier lain. Masalah budaya perusahaan berbeda satu sama lain dan kadang hal ini tidak dinyatakan secara terbuka padahal hal ini kadang menjadi salah satu faktor dalam memilih supplier.

Mini Case Study – The Body Shop adalah salah satu contoh sebuah perusahaan yang sangat concern dengan isu lingkungan sehingga memiliki standar yang ketat bagi supplier yang membuat packaging untuk produknya. Body Shop membatasi jenis plastik yang dipakai sekaligus memfasilitasi usaha daur ulang.

3.Kecocokan Teknologi

Sebuah perusahaan yang memerlukan teknologi tertentu dalam proses produksinya secara tidak sadar menciptakan hubungan saling ketergantungan dengan suppliernya. Hal ini melahirkan komitment bisnis jangka panjang. Dimana supplier menginvestasikan dana untuk membeli mesin dengan teknologi terakhir, disatu sisi, perusahaan memberikan kontrak jangka panjang untuk pemakaian mesin tersebut. Dengan berkembangnya teknologi pada jaman now ini maka banyak sekali muncul produk teknologi dengan berbagai inovasi dan variasinya. Namun tidak semua inovasi tersebut cocok untuk semua perusahaan sehingga kecocokan teknologi ini menjadi faktor penting dalam memilih supplier.

Itulah 3 hal yang sebenarnya juga mendasari hubungan antara buyer-supplier namun sering tidak nampak dipermukaan. Kesimpulannya kerjasama yang saling menguntungkan akan mendorong hubungan buyer-supplier yang lebih dekat. ( baca partnership) namun diperlukan kemampuan untuk melihat faktor-faktor lain selain faktor teknis, komersil dan legal yang mungkin mempengaruhi hubungan buyer-supplier. #dothebasicright